Sabtu, 29 Juni 2019

Amalan yang paling dicintai oleh Allah


Banyak riwayat hadis tentang fadhail amal yang menjelaskan tentang amalan yang paling dicintai Allah. Namun para ulama hadis berkata bahwa jawaban Rasulullah dalam hadis-hadis tersebut disesuaikan dengan sang penanya.

Dalam hadis yang akan dibahas kali ini sang penanya adalah Abdullah Ibnu Mas’ud, beliau adalah simbol ketakwaan, kehati-hatian dan kesucian diri.  Kepada sahabat yang menjadi salah satu dari empat sahabat penjaga Alquran ini, apa jawaban Nabi tentang amal yang paling dicintai Allah kepada beliau?

Dalam riwayat berikut dikatakan

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي العمل أحب إلى الله؟ قال: “الصلاة على وقتها”, قلت: ثم أي؟ قال: “بر الوالدين”, قلت: ثم أي؟ قال: “الجهاد في سبيل الله”,

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi Muhammad Saw tentang amalan yang paling disukai Allah Swt? beliau menjawab, Shalat pada waktunya. Kemudian apa? Kataku, beliau menjawab, “berbuat baik kepada kedua orangtua”. Kemudian apa? Kataku lagi. Beliau menjawab, “jihad fi sabilillah”. (HR. Bukhari&Muslim)

Amalan-amalan yang dibahas dalam hadis ini adalah khusus tentang amal badaniyah atau yang dikerjakan anggota badan kita dan terlihat secara kasat mata. Sebab amalan hati yang paling disukai Allah tentu adalah iman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya.

Ibnu Daqiq al-‘Id menjelaskan dalam kitab Ihkamu al-Ahkam mengenai makna tentang tiga amalan yang paling disukai Allah Swt dalam hadis ini.

Amalan pertama yang sangat dicintai Allah adalah Shalat. Berdasarkan hadis ini para ahli Fiqih mengatakan bahwa ibadah yang paling utama adalah shalat.

Maksud Shalat pada waktunya bukan mengacu pada ketentuan awal waktu atau akhir waktu shalat. Akan tetapi yang ditekankan adalah menjaga agar jangan sampai shalat di luar waktunya dan jangan sampai meninggalkannya.  Sebab Shalat merupakan amalan pertama yang akan dipertanyakan pertanggungjawabannya di padang mahsyar.

Namun pendapat lain mengatakan bahwa maksud shalat ‘ala waqtiha adalah menyegerakan shalat di awal waktu sebab shalat di awal waktu memiliki keutamaan tersendiri bagi yang mengerjakannya.

Amalan kedua yang paling dicintai Allah adalah berbakti kepada kedua orangtua. Dalam riwayat lain pernah kita dengar ada seorang sahabat yang ingin berjihad tapi dicegah oleh Rasulullah karena  ia memiliki orangtua yang perlu dia jaga.

Pada hadis ini Rasul secara langsung menyebutkan berbakti kepada orangtua sebelum jihad itu adalah pertanda betapa agungnya martabat orangtua, sehingga menyakitinya tidak diragukan lagi merupakan dosa besar.

Amalan ketiga adalah jihad di jalan Allah. Kedudukan jihad dalam agama islam sangat agung, namun sayang banyak yang salah mempersepsikan makna jihad. Menurut Imam Ibnu Daqiq, jihad lebih utama dibandingkan amal lainnya sebab jihad adalah wasilah atau perantara yang dengannya akan tercapai tujuan mulia. Jadi jihad menjadi sesuatu amalan yang agung jika hal yang dituju sejalan dengan nilai-nilai yang diajarankan dalam Islam.

Sabtu, 08 Juni 2019

Pentingnya Mengingat Kematian


SESUNGGUHNYA kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal lagi. Allah SWT berfirman, artinya, “Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf:19)

Siapakah di antara kita yang meragukan kematian dan sakaratul maut? Apakah ada orang yang meragukan kubur dan azabnya? Siapakah yang mampu menunda kematiannya dari waktu yang telah ditentukan?

Mengapa manusia sombong padahal kelak akan dimakan ulat? Mengapa manusia melampaui batas padahal di dalam tanah kelak akan terbujur? Mengapa menunda-nunda, padahal kita  mengetahui kematian akan datang secara tiba-tiba?


Hakikat Kematian

Adalah salah bila ada orang yang menyangka bahawa kematian itu hanya kefanaan semata dan pengakhiran secara total yang tidak ada kehidupan, perhitungan, hari dikumpulkan, kebangkitan, syurga atau neraka padanya!! Sebab andaikata demikian, tentulah tidak ada hikmah dari penciptaan dan wujud kita. Tentulah manusia semua sama saja setelah kematian dan dapat beristirahat lega; fulan mukmin dan kafir, fulan  pembunuh dan terbunuh, fulan si penzalim dan yang dizalimi, fulan yang taat dan maksiat, fulan  penzina dan yang rajin solat, fulan  ahli maksiat dan ahli takwa.

Pandangan tersebut hanyalah bersumber dari pemahaman kaum atheis yang mereka itu lebih buruk dari binatang sekali pun. Yang mengatakan seperti ini hanyalah orang yang telah tidak punya rasa malu dan menggelarkan dirinya sebagai orang yang bodoh dan ‘gila.’ (Baca: QS. At-Taghabun:7, QS. Yaasiin: 78-79)

Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian masa pun terputus.

Nabi S.A.W. bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR. At-Turmuzi dan Ibn Majah, disahihkan Al-Hakim dan Ibn Hibban)

Kematian Merupakan Musibah Paling Besar!!

Kematian merupakan musibah paling besar, kerana itu Allah s.w.t. menamakannya dengan ‘musibah maut’ (Al-Maidah:106). Bila seorang hamba ahli taat didatangi maut, ia menyesal mengapa tidak menambah amalan solehnya, sedangkan bila seorang hamba ahli maksiat didatangi maut, ia menyesali atas perbuatan melampaui batas yang dilakukannya dan berkeinginan dapat dikembalikan ke dunia lagi, sehingga dapat bertaubat kepada Allah s.w.t. dan mula melakukan amal soleh. Namun! Itu semua adalah mustahil dan tidak akan terjadi!! (Baca: QS. Fushshilat: 24, QS. Al-Mu’minun: 99-100)

Ingatlah Penghancur Segala Kenikmatan!!

Nabi s.a.w. menganjurkan agar banyak mengingat kematian. Beliau bersabda, “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (maut),” (HR. At-Tirmidzi, hasan menurutnya).

Imam Al-Qurthubi r.a. berkata, “Para ulama kita mengatakan, ucapan beliau, “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan”, merupakan ucapan ringkas tapi padat, menghimpun makna peringatan dan amat mendalam penyampaian nasihatnya. Sebab, orang yang benar-benar mengingat kematian, pasti akan mengurangi kenikmatan yang dirasakannya saat itu, mencegahnya untuk bercita-cita mendapatkannya di masa yang akan datang serta membuatnya menghindar dari mengangankannya, sekalipun hal itu masih mampu dicapainya.

Namun jiwa yang beku dan hati yang lalai selalu memerlukan nasihat yang lebih lama dari para penyuluh dan untaian kata-kata yang meluluhkan sebab bila tidak, sebenarnya ucapan beliau tersebut dan firman Allah s.w.t. dalam surat Ali ‘Imran ayat 185, (artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati) sudah cukup bagi pendengar dan pemerhati-nya.!!”


Siapa Orang Yang Paling Cerdik?

Ibnu Umar r.a pernah berkata, “Aku pernah mengadap Rasulullah s.a.w sebagai orang ke sepuluh yang datang, lalu salah seorang dari kaum Anshor berdiri seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdik dan paling tegas?” Beliau menjawab, “(adalah) Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah manusia-manusia cerdas; mereka pergi (mati) dengan harga diri dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR. Ath-Thabrani, disahihkan al-Munziri)

Manfaat Mengingat Kematian

Di antara faedah mengingat kematian adalah:

– Mendorong diri untuk bersiap-siap menghadapi kematian sebelum datangnya.

– Memendekkan angan-angan untuk lama tinggal di dunia yang fana ini, kerana panjang angan-angan merupakan sebab paling besar lahirnya kelalaian.

– Menjauhkan diri dari cinta dunia dan redha dengan yang sedikit.

– Menguatkan keinginan pada akhirat dan mengajak untuk berbuat ta’at.

– Meringankan seorang hamba dalam menghadapi ujian dunia.

– Mencegah kerakusan dan ketamakan terhadap nikmat duniawi.

– Mendorong untuk bertaubat dan muhasabah kesalahan masa lalu.

– Melembutkan hati, membuat mata menangis, memberi semangat untuk mendalami agama dan menghapuskan keinginan hawa nafsu.

– Mengajak bersikap rendah hati (tawadhu’), tidak sombong, dan berlaku zalim.

– Mendorong sikap toleransi, mema’afkan teman dan menerima kesalahan dan kelemahan orang lain.

Perkataan Orang-Orang Arif

Al-Qurthubi r.a berkata, “Umat sepakat bahwa kematian tidak memiliki usia tertentu, masa tertentu dan penyakit tertentu. Hal ini dimaksudkan agar seseorang senantiasa waspada dan bersiap-siap menghadapinya.”

Yazid Ar-Raqqasyi r.a. berkata kepada dirinya, “Celakalah engkau wahai Yazid! Siapa orang yang akan menggantikan solatmu setelah mati? Siapa yang berpuasa untukmu setelah mati? Siapa yang memohon keredhaan Allah untukmu setelah mati? Wahai manusia! Tidakkah kamu menangis dan meratapi diri sendiri dalam sisa hidup kamu? Siapa yang dicari maut, kuburan jadi rumahnya, tanah jadi katilnya dan ulat jadi teman rapatnya, lalu setelah itu ia akan menunggu lagi hari kecemasan yang paling besar; bagaimana keadaan orang yang seperti ini nanti.?” Beliau pun kemudian menangis.

Ad-Daqqaq r.a. berkata, “Siapa yang banyak mengingat kematian, maka ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: Segera bertaubat; Mendapatkan kepuasan hati; dan bersemangat dalam beribadah. Dan siapa yang lupa akan kematian, maka ia akan disiksa dengan tiga perkara: Menunda untuk bertaubat; Tidak merasa cukup dengan yang ada dan malas beribadah.”

Al-Hasan Al-Bashri r.a. berkata, “Sesungguhnya kematian ini telah menghancurkan kenikmatan yang dirasakan para penikmatnya. Kerana itu, carilah kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya.”

Faktor-Faktor Pendorong Mengingat Kematian

1. Ziarah kubur. Nabi s.a.w. bersabda, “Berziarah kuburlah kamu, sebab ia dapat mengingatkanmu akan akhirat.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, disahihkan Syaikh Al-Albani)

2. Melihat mayat ketika dimandikan.

3. Menyaksikan orang-orang yang tengah sekarat dan menalqinkan mereka dengan kalimat syahadat.

4. Mengiringi jenazah, solat ke atasnya serta menghadiri pengkebumiannya.

5. Membaca Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan akan kematian dan sakratul maut seperti ayat 19 surat Qaaf.

6. Uban dan Penyakit. Kedua hal ini merupakan utusan malaikat maut kepada para hamba.

7. Fenomena alam yang dijadikan Allah s.a.w. untuk mengingatkan para hamba akan kematian seperti gempa, gunung meletus, banjir, badai dan sebagainya.

8. Membaca berita-berita tentang umat-umat masa lalu yang telah dibinasakan oleh maut.

Semoga Allah s.w.t. menutup akhir hayat kita dengan Husnul Khatimah dan menerima semua amal shalih kita, Amin. 

Sumber: abusyakirin

Rabu, 05 Juni 2019

Kapan kita mulai puasa Syawal?



Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan ?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!


Sumber https://rumaysho.com/521-jangan-lupa-lakukan-puasa-syawal.html