Rabu, 24 April 2019

Pahala Besar di Balik Memberi Makan Berbuka


Bulan Ramadhan benar-benar kesempatan terbaik untuk beramal. Bulan Ramadhan adalah kesempatan menuai pahala melimpah. Banyak amalan yang bisa dilakukan ketika itu agar menuai ganjaran yang luar biasa. Dengan memberi sesuap nasi, secangkir teh, secuil kurma atau snack yang menggiurkan, itu pun bisa menjadi ladang pahala. Maka sudah sepantasnya kesempatan tersebut tidak terlewatkan.
Inilah janji pahala yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”[1]
Al Munawi rahimahullah menjelaskan bahwa memberi makan buka puasa di sini boleh jadi dengan makan malam, atau dengan kurma. Jika tidak bisa dengan itu, maka bisa pula dengan seteguk air.[2]
Ath Thobari rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa yang menolong seorang mukmin dalam beramal kebaikan, maka orang yang menolong tersebut akan mendapatkan pahala semisal pelaku kebaikan tadi. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar bahwa orang yang mempersiapkan segala perlengkapan perang bagi orang yang ingin berperang, maka ia akan mendapatkan pahala berperang. Begitu pula orang yang memberi makan buka puasa atau memberi kekuatan melalui konsumsi makanan bagi orang yang berpuasa, maka ia pun akan mendapatkan pahala berpuasa.”[3]
Sungguh luar biasa pahala yang diiming-imingi.
Di antara keutamaan lainnya bagi orang yang memberi makan berbuka adalah keutamaan yang diraih dari do’a orang yang menyantap makanan berbuka. Jika orang yang menyantap makanan mendoakan si pemberi makanan, maka sungguh itu adalah do’a yang terkabulkan. Karena memang do’a orang yang berbuka puasa adalah do’a yang mustajab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”[4] Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.[5]
Apalagi jika orang yang menyantap makanan tadi mendo’akan sebagaimana do’a yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam praktekkan, maka sungguh rizki yang kita keluarkan akan semakin barokah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,
اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى
Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku][6]
Tak lupa pula, ketika kita memberi makan berbuka, hendaklah memilih orang yang terbaik atau orang yang sholih. Carilah orang-orang yang sholih yang bisa mendo’akan kita ketika mereka berbuka. Karena ingatlah harta terbaik adalah di sisi orang yang sholih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada ‘Amru bin Al ‘Ash,
يَا عَمْرُو نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah harta di tangan hamba yang Shalih.”[7]
Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga.[8] Dari ‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »
Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.”[9]
Seorang yang semangat dalam kebaikan pun berujar, “Seandainya saya memiliki kelebihan rizki, di samping puasa, saya pun akan memberi makan berbuka. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Sungguh pahala melimpah seperti ini tidak akan saya sia-siakan. Mudah-mudahan Allah pun memudahkan hal ini.”


Sumber https://rumaysho.com/1147-pahala-besar-di-balik-memberi-makan-berbuka.html

Sabtu, 20 April 2019

H-15 Bulan Ramadhan


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” 
(QS. Al Baqarah: 183)


15 hari lagi guys....

Udah siapin apa aja? 

Jumat, 19 April 2019

Selama Pemimpin kita Sholat, Tidak boleh kita Memberontak


Pemimpin kaum muslimin yang terbaik adalah yang berbuat kebajikan dan menjaga shalat. Selama ia masih menjaga shalat walau berbuat zhalim, ia tetap ditaati. Begitu berbahayanya jika pemimpin tersebut meninggalkan shalat.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ
Suatu saat akan datang para pemimpin, mereka melakukan ma’ruf (kebajikan) dan kemungkaran (kejelekan). Siapa yang benci (dalam hati) akan kemungkaran yang dilakukan oleh pemimpin, maka ia sudah bebas dari dosa dan hukuman. Barangsiapa mengingkarinya, maka dia selamat. Sedangkan (dosa dan hukuman adalah) bagi yang ridha dan mengikutinya.” Kemudian para shahabat berkata, “Apakah kami boleh memerangi mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لاَ مَا صَلَّوْا
Jangan selama mereka mengerjakan shalat.” (HR. Muslim no. 1854).
Keadaan ini berlaku bagi orang yang melihat kemungkaran pada pemimpin dan ia tidak mampu mengingkari dengan lisan dan tangannya, maka ia mengingkari dengan hatinya. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 212).
Hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mampu mengingkari kemungkaran, maka ia tidak berdosa ketika ia diam. Akan tetapi yang terkena dosa dan hukuman tatkala ridha, tidak mengingkari dalam hati atau mengikuti kemungkaran pemimpin tersebut. Dan juga terdapat pelajaran berharga, tidak boleh keluar dari ketaatan pada pemimpin karena melihat kezhaliman atau kefasikan yang pemimpin perbuat, selama tidak merubah aturan (kaedah) Islam. (Idem)
Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?”   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya  dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)
Dalam dua hadits di atas terdapat dalil untuk memerangi penguasa dengan pedang apabila mereka tidak mendirikan shalat. Dan tidak boleh menentang penguasa dan memerangi mereka sampai mereka melakukan kufur yang nyata di mana terdapat pada kita burhan (petunjuk) dari Allah Ta’ala sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shomit radhiyallahu ‘anhu,
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami untuk berbai’at, lalu kami berbai’at kepadanya. Bai’at tersebut mewajibkan kami untuk mendengar dan selalu ta’at kepada penguasa dalam keadaan senang atau benci, sulit atau lapang, dan mengalahkan kepentingan kami, juga tidak menentangnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah’.” (HR. Muslim no. 1709)
Kesimpulannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini mengaitkan perbuatan meninggalkan shalat dengan memerangi penguasa dan ini dianggap sebagai kekufuran yang nyata.
Ya Allah, perbaikilah keadaan para pemimpin kami dan jadikan mereka orang-orang yang selalu memperhatikan kewajiban serta shalat mereka. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Risalah fii Hukmi Tarikish Shalah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Maktabah As Sunnah, hal. 10-11.

Selasa, 16 April 2019

Siapapun yang terpilih itu sudah menjadi ketetapan Allah



Sejatinya amanah itu… ǀ Bukan karena kamu mampu… ǀ Bukan pula karena mereka merasa kamu mampu… ǀ Bukan karena kamu tahu kapasitasmu… ǀ Bukan pula karena mereka tahu kapasitasmu… ǀ dan jangan sampai pula karena kemauanmu…ǀ

Amanah itu kehendak Allah… :) ǀ Rencana Allah SWT atas kehidupanmu.. ǀ Bahkan sekiranya semua orang di sekitarmu berhimpun untuk menjauhkanmu dari amanah itu, ǀ jika Allah tahu itu yang terbaik bagimu, ǀ maka ia berikan amanah itu kepadamu.. ǀ

Bahkan sekiranya semua orang disekitarmu bersepakat menyatakan bahwa kamu tak mampu, ǀ jika Allah tahu amanah itu jalan terbaik untuk meningkatkan kapasitas dirimu, ǀ maka Ia tetap berikan amanah itu kepadamu…ǀ

Bahkan sekiranya semua orang di sekitarmu berupaya maksimal agar agar seseorang yang BUKAN DIRIMU yang mengemban amanah itu, ǀ jika Allah ingin mendidikmu dengan amanah itu, ǀ maka ia berikan amanah itu kepadamu…ǀ

Bahkan sekiranya seluruh aibmu seketika memenuhi fikiranmu dan membuat berhenti melangkah karena ragu, ǀ jika Allah tahu amanah itu akan membuatmu menjadi hamba yang semakin baik dan semakin dekat dengan-Nya.. ǀ maka amanah itu akan Dia berikan kepadamu.. ǀ

Percayalah.. ada rencana terbaik yang sudah Allah persiapkan, ǀ sikapilah dengan ikhtiar terbaik yang kamu lakukan.. ǀ serta pertanggungjawaban terbaik yang bisa kamu persiapkan.. ǀ

Sekali lagi, ini bukan tentang kamu dan mereka..ini TENTANG KAMU DAN DIA (ALLAH).. ǀ Dan melangkahlah dengan percaya, bahwa bersama-Nya semuanya akan baik2 saja.. Semangat karena ALLAH.. ǀ

@ARL

Doa Memilih Pemimpin


PESTA demokrasi tidak hanya sekedar untuk mencari presiden baru, tetapi bagaimana tanggung jawab kita di akhirat jika salah memilih pemimpin, Rasulullah Saw mengingatkan:
إنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين
“Sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan(Rakyat) (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad dan Darimi /Maktabah Al-islamiyah).
Maka memilih presiden bukan hanya berdasarkan suka atau tidak suka, akan tetapi harus mencari sosok yang tepat. Karena bila salah coblos, maka nasib rakyat-lah yang akan menjadi taruhannya, dan yang paling ditakutkan adalah jika kita tidak mampu mempertanggung jawabkan pilihan politik di hadapan Allah.
Bagaimana cara memilih pemimpin yang terbaik?
Ketua Ikatan Sarjana Quran Hadis Indonesia Fauzan Amin menyatakan, melihat tradisi kepemimpinan dalam islam setidaknya ada dua unsur pokok yang patut dicermati, pemimpin seperti apa yang paling layak dipilih?
Pertama adalah sosok ulama (ahli agama, tokoh spritual), kedua adalah waliyul amri (pemimpin wilayah atau negara). Rasulullah sendiri adalah tokoh spiritual sekaligus pemimpin negara Madinah. Begitu pula Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz dan khalifah lain dalam sejarah kepemimpinan islam.
Bagaimana jika tidak menemukan calon pemimpin ideal seperti nabi dan para sahabatnya?
Memang, manusia tiada yang sempurna, setidaknya carilah sosok yang paling mendekati dua unsur diatas yaitu ulama’ dan umaro’, supaya mereka saling mengisi dalam kabinet (koalisi) pemerintah yang di usung, misal; sang pemimpin seorang kiai dan wakilnya ahli strategi, atau sebaliknya, yang terpenting mereka bisa saling mengisi dan melengkapi. Dua komponen ini wajib ada dalam diri pemimpin bangsa, agar menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur.
Agar tidak salah memilih pemimpin maka islam mengajari dua hal:
1. Lakukanlah salat istikharah
Sebelum menentukan pilihan sempatkan salat istikharah dan bacalah do’a sebagai berikut ini:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ
Artinya “Ya Allah aku beristikharah atau memohon petunjuk dengan ilmu-Mu, aku memohon kekuatan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon keutamaan-Mu.” (HR. Bukhari)
2. Rajin mendoakan pemimpin
Bacalah do’a berikut ini:
اللهم إني أعوذبك من إمارةِ الصبيان والسفهاء
(Allahumma Inni A’udzubika Min Imratisshibyan Was Sufaha’)
Artinya “Yaa Allah, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” (Shahih adabul mufrad 47/66, Syamilah)
اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا
(Allahumma laa tusallith ‘alainaa bidzunubinaa man laa yakhafuka fiinaa wa laa yarhamunaa)
Artinya : “Yaa Allah -dikarenakan dosa-dosa kami- janganlah Engkau kuasakan (beri pemimpin) orang-orang yang tidak takut kepada-Mu atas kami dan tidak pula bersikap rahmah kepada kami” (Syamilah).

Hukum memberi dan menerima Suap



Kelakuan jelek sebagian caleg menjelang Pemilu ini adalah memberikan uang sogok pada warga supaya mau memberikan suara pada mereka. Padahal sebenarnya mereka adalah orang yang tidak layak jadi wakil rakyat. Kalau memang layak, tentu mereka tidak perlu nyogok menyogok, namun memberikan bukti bahwa mereka memang pantas jadi wakil rakyat. Sebagian orang pun menanyakan pada kami tentang uang sogok ini, apa boleh dimanfaatkan? Karena sebagian mereka akan diberi 20 ribu rupiah jika mau memberikan tanda tangan pada secarik kertas yang berisi perjanjian bahwa mereka akan memberikan suara pada caleg tersebut saat pemilu nanti. Ada juga yang melakukan serangan fajar, memberikan uang di pagi buta saat menjelang pemungutan suara.
Ingatlah bahwa uang sogok, suap dan risywah adalah uang yang haram. Uang tersebut diharamkan bagi yang memberi maupun yang menerima, bahkan termasuk pula yang menjadi perantara.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih). Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat al Ra-isy (الرَّائِشَ) yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). Meski hadits ini lemah namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini adalah suatu yang terlarang. Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Bahkan sogok itu haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama).

Yang dimaksud risywah atau uang sogok dikatakan oleh Ibnul ‘Arobi,
كُلّ مَال دُفِعَ لِيَبْتَاعَ بِهِ مِنْ ذِي جَاهُ عَوْنًا عَلَى مَا لَا يَحِلُّ
“Segala sesuatu yang diserahkan untuk membayar orang yang punya kedudukan supaya menolong dalam hal yang tidak halal.”
Dalam hadits disebutkan istilah rosyi, yang dimaksudkan adalah orang yang menyerahkan uang sogok. Sedangkan murtasyi adalah yang menerimanya. Adapun perantaranya disebut dengan ro-is.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, risywah adalah sesuatu yang diserahkan untuk menggagalkan yang benar atau untuk melegalkan yang batil. Adapun jika yang diserahkan bertujuan untuk mengantarkan pada kebenaran atau untuk menolak tidankan zhalim, maka tidaklah masalah.
Bagaimana hukum menerima uang sogok?
Dalam fatwa Al Muntaqo, -guru kami- Syaikh Sholeh Al Fauzan mengenai hukum menerima uang sogok, beliau berkata, “Mengambil uang sogok termasuk penghasilan yang haram, keharaman yang paling keras dan penghasilan yang paling jelek.”
Mereka yang memberi sogok seperti ini hakekatnya adalah orang-orang yang tamak dan gila pada kekuasaan. Saat sudah memegang tampuk kekuasaan, mereka cuma ingin harta sogoknya kembali, sehingga korupsi dan pencurian uang rakyat yang terjadi. Orang yang tamak pada kekuasaan ini dicela oleh Rasul dan akan menyesal pada hari kiamat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإمَارَةِ ، وَسَتَكونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَة
Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal” (HR. Bukhari no. 7148).

Demikian pula perhatikanlah nasehat Rasul pada Abu Dzarr. Dari Abu Dzarr, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).
Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh Allah.” (Fathul Bari, 13: 124)


Sumber: www.muslim.or.id 

Hati-hati Bekas Tinta Pemilu!



Ada beberapa dalil yang bisa dijadikan landasan tentang keharusan membasahi semua bagian dari anggota wudhu', dan wudhu' menjadi tidak sah bila tidak sampai basah.

1. Hadits Kuku Tidak Basah
Ada sebuah hadits Shahih riwayat Imam Muslim yang kita dapat dari jalur Umar bin Khatab radhiyallahuanhu. Diceritakan ada seorang shahabat berwudhu' tetapi begitu selesai, dia diminta kembali mengulangi wudhu'ntya oleh Rasulullah SAW. Hal itu karena ketika wudhu', ada satu kukunya yang tidak basah terkena air.
أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
Ada seseorang yang berwudhu lalu dia membiarkan seluah satu kuku di jari kakinya tidak terkena air. Rasulullah SAW memperhatikannya dan menyuruhnya, ”Kembali, ulangi wudhumu dengan baik.” Orang inipun mengulangi wudhunya, lalu dia shalat. (HR. Muslim). 
Hadits ini menunjukkan bahwa walau pun hanya meninggalkan satu kuku di ujung jari, tetapi kalau sampai tidak basah saat berwudhu', maka Rasulullah SAW memintanya untuk mengulanginya. 
Para ulama kemudian menarik kesimpulan bahwa alasan beliau SAW memerintahkan untuk mengulangi wudhu'nya karena wudhu'nya belum sah, ketika kukunya tidak ikut basah. Jadi kesimpulannya, ujung jari atau kuku wajib ikut dibasahi juga agar wudhu' menjadi sah hukumnya.
Ketika menjelaskan hadis Umar di atas, dalam kitab Syarah Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi menjelaskan :
فِي هَذَا الْحَدِيث : أَنَّ مَنْ تَرَكَ جُزْءًا يَسِيرًا مِمَّا يَجِب تَطْهِيره لَا تَصِحّ طَهَارَته وَهَذَا مُتَّفَق عَلَيْهِ،
Dalam hadis ini terdapat kesimpulan bahwa orang yang meninggalkan sebagian anggota yang wajib dibasuh maka wudhunya tidak sah. Ini perkara yang disepakati. [1]
2. Hadits Punggung Kaki
Dalam riwayat yang lain, Al-Imam Ahmad bin Hanbal menceritakan sebuah hadits tentang orang yang ketika shalat, ada bagian dari kakinya seukuran koin uang dirham yang tidak sempat basah kena air sewaktu berwudhu'. Dan hal itu diketahui oleh Rasulullah SAW, yang kemudian memerintahkannya untuk mengulangi wudhu'nya. 
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي، وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ، قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ ” فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ “
Rasulullah SAW melihat seseorang shalat, sementara di punggung kakinya ada selebar koin yang belum tersentuh air. Kemudian beliau menyuruh orang ini untuk mengulangi wudhunya. (HR. Ahmad).
Hadits ini menegaskan bahwa wudhu tidak sah, jika masih ada bagian anggota wudhu yang tidak terkena air, meski hanya seluas koin.
Hukum Tinta Pemilu

Sekarang yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan tinta Pemilu? Apakah tinta Pemilu itu bersifat menutup dan menghalangi sampainya air ke ujung jari yang terwarnai itu?

Mari kita perhatikan baik-baik ketentuannya dan periksa langsung keadaannya. Memang dalam Peraturan No 16 tahun 2013 telah ditetapkan tentang Norma, Standar Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014. “Tinta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan sertifikat halal dan tidak menghalangi air untuk keabsahan wudhu dari Majelis Ulama Indonesia,”

Kalau memang dalam kenyataannya, tinta tersebut tidak menghalangi air untuk keabsahan wudhu, maka masalahnya sudah selesai. Sebab keberadaan tinta itu sama sekali tidak menghalangi air, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Kondisinya mirip dengan orang yang memakai hinna' (حناء) atau pacar kuku, meski warna bertahan seterusnya pada kuku, tetapi sifatnya tidak membuat lapisan penghalang air. Dalam hal ini Al-Imam An-Nawawi rahimauhllah, dalam kitab fiqih mazhab Asy-Syafi'i, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, menjelaskan :
ولو بقي على اليد وغيرها أثر الحناء ولونه  دون عينه  أو أثر دهن مائع بحيث يمس الماء بشرة العضو ويجري عليها لكن لا يثبت : صحت طهارته
Jika di tangan masih ada bekas pacar kuku, dan warnanya, namun zatnya sudah hilang, atau bekas minyak kental, dimana air masih bisa menyentuh kulit anggota wudhu dan bisa mengalir di kulit anggota wudhu, meskipun tidak tertahan, wudhunya sah. [2]
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, tinta Pemilu bersifat seperti pacar kuku ini. Ada warnanya dan tidak mudah hilang, namun sifatnya tidak membuat lapisan yang menghalangi air wudhu'. Maka pertanyaan Anda terjawab sudah bahwa tinta itu aman dan tidak menghalangi wudhu'.

Kondisi Tertentu
Tetapi bisa saja terjadi pelanggaran dalam proyek pengadaannya. Kita tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Anggaplah misalnya ada yang menemukan bahwa tinta itu terbuat dari bahan yang setelah kering justru terbentuk semacam lapisan, sebagaimana cat minyak atau lem karet dan sejenisnya. 

Kalau hal ini memang benar terbukti, maka tinta ini jadi penghalang wudhu'. Tentu saja harus bersihkan dulu sebelum wudhu. Tujuannya biar lapisan yang menghalangi itu terkelupas. Biasanya kita menggunakan tinner atau sejenisnya untuk melelehkan lapisan itu.

Al-Imam An-Nawawi membedakan apabila warna itu terbuat dari zat yang sifatnya melapisi dan menghalangi.  
إذا كان على بعض أعضائه شمع أو عجين أو حناء وأشباه ذلك فمنع وصول الماء إلى شيء من العضو لم تصح طهارته سواء أكثر ذلك أم قل
Apabila sebagian anggota wudhu tertutup cat atau lem, atau kutek atau semacamnya, sebhingga bisa menghalangi air sampai ke permukaan kulit anggota wudhu, maka wudhunya batal, baik sedikit maupun banyak. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 1 hal. 467). 
Semoga tidak terjadi pelanggaran dalam pengadaan tinta Pemilu. Dan kalau pun terjadi, insya Allah kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan sebelum berwudhu'. Demikian penjelasan singkat ini semoga bermanfaat. Amin. 
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA 
------------------------------------------------------------------------
[1] Syarah Muslim karya an-Nawawi, jilid 3 hal. 132 
[2] Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 1 hal. 468

Syubhat-Syubhat Seputar Pemilu




SYUBHAT-SYUBHAT SEPUTAR PEMILU

Oleh : Ustadz Agus Susanto, Lc.

(Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)

======

⚖Pokok Pembahasan Pertama: SYUBHAT-SYUBHAT SEPUTAR PEMILU

Bismillah Wa Sholatu Wa sallam 'Ala Rosulillah. Amma Ba'du...

Pemilu sebentar lagi tiba, seperti biasa seiring dekatnya waktu pemilu banyak diantara saudara-saudara kita yang gencar untuk menyerukan ummat untuk ikut serta dalam pesta demokrasi atau yang disebut dengan pemilu.

Mereka mencoba untuk mengerahkan segenap tenaga mereka untuk menggiring ummat kepada suatu keharaman, dengan memberikan beberapa syubhat untuk bisa mencapai apa yang mereka inginkan.

Sehingga kerusakan demi kerusakan tidak sedikit kita saksikan, yang ini semua bermula dari syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh saudara-saudara kita dari kalangan yang mengaku menisbatkan diri kepada manhaj salaf.

Kalau dahulu syubhat-syubhat ini dilontarkan oleh kaum hizbiyyin dan pergerakan, akan tetapi kenyataan yang memilukan sekarang ini yang kita hadapi adalah saudara-saudara kita yang berada dalam satu naungan dalam manhaj salaf.

Berikut ini adalah syubhat-syubhat dari mereka yang bisa kita rangkup dalam tulisan ini.

1. SYUBHAT PERTAMA : “Anggapan bahwa ikut serta dalam pesta demokrasi atau pemilu ini berdasarkan fatwa ulama kibar semisal Syeikh Albani, Syeikh Ibnu Utsaimin, dan lainnya”

▶ TANGGAPAN PERTAMA :
Apakah dengan adanya fatwa ulama yang kalian bawakan bisa menjadikan sesuatu yang haram bisa menjadi boleh..???

 Sungguh menjadi suatu kenyataan yang memilukan sekarang ini banyak diantara ikhwah yang menjadikan fatwa-fatwa ulama seperti dalil , seakan-akan dengan adanya fatwa ulama tersebut kita bisa menjalankan apa yang sebelumnya haram. Padahal para ulama kita telah mengatakan:

أَقْوَالٌ أَهَّلَ العِلْمُ فَيَحْتَجُّ لَهَا وَلَا يَحْتَجُّ بِهَا

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia (pendapatnya) bukanlah dalil”.

Demikian juga para ulama dari masa kemasa telah mewasiatkan kepada kita agar kita tidak bertaqlid kepada mereka.

✅ Imam Malik berkata :

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَأُصِيبُ، فَاُنْظُرُوا فِي رَأْيِي، فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسَّنَةَ، فَخُذُوهُ. وَكُلُّ مَا لَمْ يُوَافِقْ الكُتَّابُ وَالسَّنَةُ، فَاُتْرُكُوهُ

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Lihat Jami' Bayan Ilmi Wa Fadhlihi 2/32 oleh Ibnu Abdil Barr Dan Al-Ihkam Fi Ushul Al Ahkam oleh Ibnu Hazm 6/149).

✅ Imam Asy-Syafi’i berkata :

أَجْمَعُ النَّاسُ عَلَى أَنْ مَنْ اِسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلٍ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun”. (Lihat Al I’lam 2/361 oleh Ibnul Qayyim).

✅ Imam Abu Hanifah berkata :

لَا يُحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ بُقُولَنَا، مَا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)”. (Lihat Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293).

✅ Imam Ahmad bin Hambal berkata :

لَا تُقَلِّدُنِي، وَلَا تُقَلِّدُ مَالِكًا، وَلَا الشافعي، وَلَا الأوزاعي، وَلَا الثَّوْرِيُّ، وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)”. (Lihat 'Ilamul Muwaqi'in 2/302 oleh Ibnul Qayyim).

Kalau saja para imam diatas telah mengatakan perkataan tersebut, maka orang yang setelahnya lebih berhak untuk tidak taqlid.

▶ TANGGAPAN KEDUA :
Para Ulama yang telah membawakan fatwa akan bolehnya ikut serta dalam pemilu mereka semua memberikan fatwa dalam rangka untuk memperkecil kerusakan, bukan pembolehan secara mutlak.

Karena memang hukum asal dalam pemilu ini adalah haram, dan tidaklah kita dibenarkan untuk melakukan sesuatu yang haram kecuali dalam keadaan yang benar-benar terpaksa.

Sayangnya sekarang ini banyak ikhwah yang sudah melampaui batas dalam memakai fatwa ulama tersebut.

Sampai-sampai mereka menjadikan fatwa-fatwa tersebut untuk mengikuti hawa nafsu dan ambisi mereka, dan membolehkan segalanya yang para ulama tidak berfatwa seperti itu.

Sebagai suatu contoh, ada sebagaian kalangan dari yang membawakan fatwa itu untuk bolehnya kampanye dengan diiringi sesuatu yang diharamkan seperti ikhtilath, musik, dan lainnya.

Adalagi yang membawakan fatwa-fatwa ulama itu untuk bergabung dalam politik praktis. Padahal ulama-ulama yang mereka bawakan fatwanya tidak ada yang membenarkan apa yang mereka lakukan. Maka lihatlah bagaimana jauhnya fatwa-fatwa ulama tersebut dengan apa yang dilakukan oleh sebagian diantara mereka. Fa'tabiruu ya Ulil Abshar...

▶ TANGGAPAN KETIGA :
Bahwa fatwa-fatwa ulama tersebut terikat dengan kaidah “Irtikab Akhfaffu dharrain”. Yang mana kaidah ini mempunyai dhowabit yang tidak diperhatikan oleh mereka para penyeru intikhobaat (pemilu).

Dan sudah kita jelaskan dhowabit tersebut disini : http://bit.ly/2V1tZvS

▶ TANGGAPAN KEEMPAT :
Adapun terkait dengan fatwa Syeikh Al-Albani maka kita katakan :

1. Syeikh Al-Albani pada hakikatnya beliau tidak membolehkan pemilu ini hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Muqbil dalam bukunya “Hurmatul Intikhobat” : “Aku mencoba untuk menghubungi Syeikh lewat telepon dan aku katakan: kenapa engkau membolehkan pemilu?", Maka syeikh menjawab: " aku tidak membolehkannya, akan tetapi ini hanya dalam bab “irtikab akhfu dhrarain ”".

2. Syeikh Salim bin 'ied Al-Hilaly (murid senior Seyikh Al-Albani) mengatakan: “Sungguh telah datang surat dari Syeikh Muqbil terkait pemilu yang ini ditandatangani oleh Syeikh Al-Albani sendiri untuk tidak ikut masuk dalam intikhobat (pemilu) dan karena hal ini hanyalah jalan Syaithan dan hanya jalan untuk meninggikan kalimat bathil, dan ini bukanlah jalan untuk meninggikan kebenaran atau kalimat Allah.” (Dinukil dari kaset soal jawab seorang thalib yaman kepada murid-murid Syeikh Albani)

3. Syeikh Al-Albani sendiri ketika ditanya tentang pemilu yang akan diadakan di Amerika dengan alasan kaidah “irtikab Akhaffau dhararain” beliau menjawab akan tidak bolehnya. Lihat lengkapnya disini https://youtu.be/nLlAR5CENgA

▶ TANGGAPAN KELIMA:
Adapun terkait dengan fatwa Syeikh Utsaimin maka perlu diketahui bahwa Syeikh sendiri mempunyai fatwa untuk tidak bolehnya bergabung dengan partai yang memang disana terdapat para pelaku bid'ah. Silahkan disimak disini https://youtu.be/5D52dWkyFM8

 +++

2. SYUBHAT KEDUA : Perkataan mereka: “Bahwa orang yang ikut pemilu tidak mesti dia ikut dalam demokrasi, maka harus dibedakan antara pemilu dan demokrasi itu sendiri”

TANGGAPAN :
Syubhat ini adalah suatu keanehan yang muncul dari mereka yang menyeru ummat untuk ikut dalam pesta demokrasi. Bagaimana mungkin bisa dipisahkan antara pemilu itu sendiri dengan demokrasi, sementara pemilu tersebut adalah inti acara dari pesta demokrasi bagi suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Pemilu ini selalu identik dengan sebutan pesta demokrasi, karena memang dipemilu inilah acara demokrasi diadakan besar-besaran setiap lima tahun sekali. Amatilah betapa seringnya para reporter dari berbagai media di Tanah Air melontarkan secara lisan maupun tulisan kalimat-kalimat seperti, “Masyarakat menyambut pesta demokrasi ini dengan mengadakan konvoi untuk mendukung capres pilihan mereka.” atau “Pesta demokrasi ini sangat berarti bagi masa depan bangsa Indonesia.” Contoh lain, “Kita berharap pesta demokrasi ini dapat berlangsung jujur dan adil.”

Lantas apakah dengan ini kita bisa memisahkan pemilu dengan demokrasi?

 Jadi orang yang ikut serta dalam pemilu, pada hakikatnya mereka adalah orang yang ikut serta dalam merayakan pesta demokrasi itu sendiri. Dan ini masuk dalam bab “tolong menolong dalam dosa dan maksiat”. Allah 'Azza Wa Jalla berfirman:

ولا تعاونوا على الإثم والعدوان

“Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (Q.S Al-Ma'idah :2)

Suatu yang patut ditanyakan kepada mereka yang membolehkan pemilu: ”Apakah dengan kalian pemilu ada perasaan kalau kalian telah membantu terselanggaranya pesta demokrasi ini???"

“Apakah kalian tidak sadar bahwa dengan kalian ikut pemilu, kalian telah memberikan kelancaraan untuk berhukum kepada hukum selain Allah??"

Allah berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ .
 “Apakah yang mereka inginkan hukum jahiliyah? Hukum siapakah yang lebih baik dari Allah bagi orang-orang yang beriman” (Q.S Al-Ma'idah :50)


3. SYUBHAT KETIGA : Perkataan mereka “Kita ikut dalam pemilu adalah dalam rangka untuk menerapkan kaidah “Irtikab Akhaffu Dharaarain” (mencegah kemudharatan yang lebih besar dengan mengerakan kemudhratan yang kecil)

▶ TANGGAPAN :
Sekarang marilah kita bandingkan bahaya ikut pemilu dengan tidak ikut pemilu.

Bahaya ikut pemilu :
✅ Membantu terselenggaranya sistem demokrasi yang merupakan kesyirikan
✅ Membantu sistem yang mengatakan suara rakyat adalah suara tuhan
✅ Membantu dalam undang-undang yang dibuat oleh manusia
✅ Membantu sistem yang berkeyakinan bahwa hukum undang-undang bukanlah hak Allah
✅ Dan masih banyak lagi bahaya yang ditimbulkan dari ikut dalam pesta demokrasi ini

Apakah bahaya-bahaya diatas tersebut bisa ditimbang dengan bahaya-bahaya yang mereka takut-takuti selama ini, yang katanya kalau kita tidak ikut pemilu maka ahlu sunnah akan banjir darah, pki akan berkuasa, syi’ah akan membantai ahlu sunnah, negeri ini akan dikuasai oleh orang kafir dan sederet bahaya yang sifatnya hanya persangkaan semata.

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian banyak persangkaan, karena sebagian persangkaan itu adalah dosa” (Q.S. Al-Hujuraat :12)

Rosulullah Sholallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا
تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“ Jauhilah sifat berprasangka karena sifat berprasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan. Dan janganlah kamu mencari kesalahan, memata-matai, janganlah kamu berdengki-dengkian, janganlah kamu belakang-membelakangi dan janganlah kamu benci-bencian. Dan hendaklah kamu semua wahai hamba-hamba Allah bersaudara.” (HR. Bukhori no. 6064)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنِّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثاٌ : قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ المَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membenci tiga perkara : menyebarkan desas-desus , menghambur-hamburkan harta, banyak pertanyaan yang tujuannya untuk menyelisihi jawabannya. [H.R al-Bukhari no. 1477, dan Muslim no. 1715]

Beliau Shallahu 'alaihi wa sallam juga bersaba:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukup seseorang itu dikatakan pendusta jika ia mudah menyebarkan setiap berita yang ia dengar”. [H.R Muslim no.4]

 +++

4. SYUBHAT KEEMPAT : Perkataan mereka “Kami tidaklah ikut dalam pemilu melainkan dengan niatan yang baik”.

TANGGAPAN : Semata-mata niat yang baik tidak bisa menjadikan semua yang haram itu menjadi boleh. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa betapa banyak orang yang ingin mendapatkan kebaikan tapi tidak bisa dicapai karena salah dalam melangkah. Berkata Abdullah bin Mas'ud Radhiyaallahu 'Anhu:

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimy dalam Sunannya no.210 dan atsar ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam “As-shahihah” no. 2005)

Jadi hanya semata-mata niat yang baik tidak menjadikan seorang boleh ikut partisipasi dalam pesta demokrasi ini. Karena niat yang baik, bukan berarti kita boleh menjalankan apa yang dilarang dalam syari'at.

 +++

5. SYUBHAT KELIMA : Perkataan mereka: “Kita ini tidak bisa lepas dari sitem demokrasi baik ikut pemilu ataupun tidak ikut pemilu”

▶ TANGGAPAN PERTAMA :
Nampaknya orang yang meyampaikan syubhat ini tidak bisa membedakan mana yang tidak ikut memilih karena didasari keyakinan akan kebatilan sistem demokrasi, dengan orang yang tidak ikut memilih lantaran karena kekecewaan kepada negara dari penyelengaraan pemilu itu sendiri atau disebut dengan pemilu.

Kalau kita tidak memilih karena memang tidak ada keyakinan akan bathilnya sistem demokrasi ini bisa dikatakan kita ikut serta dalam sistem demokrasi karena tidak adanya pengingkaran dalam hati kita.

Akan tetapi jika kita tidak memilih lantaran kita berkeyakinan kalau sistem demokrasi adalah bentuk kesyirikan, apakah bisa dikatakan ikut dalam sitem demokrasi??

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

سارت مسرقة وسرت مغربا
شتان بين مشرق ومغرب

_“Dia berjalan ketimur dan aku bejalan kebarat
Aduhai alangkah jauhnya antara timur dengan barat”_

▶ TANGGAPAN KEDUA :
Kita tanyakan kepada mereka: apakah jika sebagian besar penduduk indonesia memilih untuk tidak ikut pemilu, pesta demokrasi ini akan tetap berjalan? Jawabnya : tentu tidak, sistem demokrasi tidak akan berjalan jika memang sebagian besarnya memilih untuk tidak ikut dalam pesta demokrasi.

▶ TANGGAPAN KETIGA :
Tanyakanlah kepada mereka-mereka yang ahli hukum tentang pernyataan mereka yang membawa syubhat ini niscaya hal ini akan mengundang ketawa dari mereka yang paham akan sistem demokrasi ini.

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh seseorang:

من تكلم في غير فنه أتى بالعجائب

“Siapa yang berbicara bukan pada bidangnya maka akan mendatangkan keanehan-keanehan”.

 PENUTUP : Inilah yang bisa ana tuliskan dan ana rangkum dari syubhat-syubhat yang ana dapati dari sebagaian ikhwah seputar pemilu
Mudah-mudahan ini bisa mencerahkan dan bisa bisa menjadi benteng bagi kita agar kita tidak terkana syubhat -syubhat ini.

Sumber : http://bit.ly/2KpbvS9

⚖Pokok Pembahasan Kedua: FATWA-FATWA ULAMA KIBAR SEPUTAR PEMILU

Berikut ini beberapa fatwa ulama kibar yang melarang untuk ikut partisipasi dalam pesta demokrasi.

 1. Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'iy
Beliau menyatakan pemilu itu haram dalam bukunya “hurmatul intikhobat”

 2. Syeikh Shalih Fauzan
Beliau mengatakan bahwa pemilu itu bertentangan dengan syari'at islam. Silahkan disimak disini : https://youtu.be/hFrNKSGjnlY

 3. Syeikh Albani dalam satu fatwanya
Beliau ketika ditanya tentang hukum pemilu diamerika beliau menjawab tidak boleh ikut. Silahkan disimak disini : https://youtu.be/nLlAR5CENgA

 4. Syeikh Utsaimin dalam fatwanya
Beliau juga pernah ditanya tentang ikut pemilu dan bergabung dengan partai-partai yang didalamnya ada ahli bid'ah dan lainnya. Beliau menjawab tidak boleh. Silahkan disimak disini : https://youtu.be/5D52dWkyFM8

 5. Syeikh Abdurrahman Al Barrak (anggota hia'ah kibar ulama)
Beliau mengatakan bahwa hukum pemilu haram dalam fatwanya sebagaimana dinukil dalam buku “al intikhobat wa ahkumuha” hal: 58

 6. Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhaliy
Silahkan disimak disini : https://youtu.be/awZTuCCM1fw

 7. Syeikh Muhammad bin Hadi
Silahkan disimak disini : https://youtu.be/TouHyvixu2A

 8. Lajnah Da'imah dalam fatwanya (23/406-407) mengatakan :
“Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mencalonkan diri ke suatu negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan syari'at islam. DAN TIDAK BOLEH BAGI SEORANG MUSLIM JUGA UNTUK MEMILIHNYA atau yang lainnya yang mereka bekerja di negeri itu.
Kecuali jika ada seorang calon yang ingin mengubah hukum negara tersebut dengan syari'at islam. Dan menjadikan itu hanya sekedar perantara untuk menjatuhkan hukum negara tersebut dengan syarat orang yang sudah mencalonkannya juga ketika terpilih tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syari'at islam.”

Demikianlah nukilan fatwa-fatwa ulama kibar diatas tentang hukum pemilu. Masihkah ada yang beranggapan kalau yang tidak membolehkannya bukan dari kalangan ulama kibar...

Silahkan sebarkan ini jika memang bermanfaat agar tidak ada lagi fakta yang disembunyikan.

Sumber : http://bit.ly/2IaF7kl

⚖Pokok Pembahasan ketiga: TIDAK MEMILIH ADALAH JALAN KESELAMATAN

Pada malam tadi Syeikh Abdul Muhsin Abbad memberikan penjelasan tentang pemilu yang sebentar lagi akan diadakan di indonesia
Berikut penjelasan beliau,

 أنا الذي قلته أنه إذا كان هناك شخصان مرشحان وبعضهم أحسن من بعض وخير للمسلمين من بعض، بعني..ودخولهم يرجح جانب الذي فيه الخير، أنه لا بأس بذلك،  وأما إذا كان يعني ما فيه تميز بعضهم من بعض، يعني...فالإنسان يعني أقول السلامة أسلم، لكن إذا كان أحدهم فيه ميزة عن الآخر في مسألة تمكين المسلمين من أمور دينهم، ولا سيما أهل السنة الذين هم على طريقة مستقيمة فإن هذا يرجح جانبه اذا كان دخولهم يرجح جانبه
.
“Yang aku katakan (maksudkan), apabila ada dua orang calon, satunya lebih baik dari yg lain dan lebih baik untuk kaum muslimin dari yg lain, maksudku keikutsertaan mereka menguatkan calon yg lebih baik, tidak mengapa (mereka ikut memilih), adapun jika tidak ada kelebihan salah satunya dari yg lain, MAKA SESEORANG LEBIH BAIK MEMILIH KESELAMATAN (TIDAK IKUT MEMILIH) lebih selamat, akan tetapi apabila salah satunya ada kelebihan dari yang lain dari sisi ia memberi keluasan untuk kaum muslimin dalam menjalankan kegiatan agama mereka, terutama ahlussunnah yg mereka berada diatas jalan yg lurus, maka (sebaiknya) dia menguatkan calon tersebut jika keikutsertaan mereka memperkuat calon yg lebih baik.” (Diterjemahkan oleh Ustadz Iqbal Gunawan)

Maka dari penjelasan Syeikh diatas bisa diambil kesimpulan:

✅ Jika memang dalam dua pasangan calon ada yang lebih baik maka tidak mengapa untuk memilih
✅ Jika diketahui kalau salah satu dari mereka lebih memberi keluasan kepada kaum muslimin terutama ahlu sunnah maka hendaknya memilihnya
✅ Akan tetapi jika tidak diketahui siapa yang lebih baik maka hendaknya dia memilih jalan kesalamatan yaitu tidak memilih
---

Terlepas dari setuju atau tidaknya kita dari pendapat Syeikh diatas, maka dalam bab tanaazul (mengalah) kepada mereka yang pro pemilu kita katakan :

“Tidakkah kalian memilih jalan kesalamatan bukankah Rasulullah -Shallahu 'alaihi wa sallam” bersabda: “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukan”.

 Syeikh sendiri telah memberi solusi tatkala kita tidak bisa membedakan mana yang lebih baik diantara calon pasangan pemimpin, (yaitu) dengan kita tidak ikut serta dalam pemilu itu.

Nah sekarang coba kita jalankan arahan Syeikh tersebut kalau kita mau mengambil fatwa beliau.

▶ Kalau ada yang bilang satu calon didukung oleh islam nusantara. Kita katakan calon yang satu juga seperti itu.

▶ Kalau ada yang bilang satu pasangan calon melakukan kesyirikan. Kita katakan paslon yang satu juga sepeti itu, bahkan sujud kepada kuburan.

▶ Kalau ada yang bilang paslon yang satu didukung oleh yang suka membubarkan kajian. Kita katakan apa paslon yang satu tidak didukung oleh orang2 yang membubarkan kajian, apa lupa kejadian pembubaran kajian Ustadz Zainal di bekasi dibubarkan oleh siapa? Yang demo masjid MIAH kemarin kebanyakan dukung siapa?...

 Selamat merenung...

Sumber : http://bit.ly/2K9E2uY